Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI SOASIU
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2016/PN Sos Irham Litte, M.Si Kepolisian Republik Indonesia c.q. Kepala Kepolisian Daerah Maluku Utara Minutasi
Tanggal Pendaftaran Selasa, 14 Jun. 2016
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penghentian penyidikan
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2016/PN Sos
Tanggal Surat Selasa, 14 Jun. 2016
Nomor Surat 27/SP.PKBH-UNK/VI/2016
Pemohon
NoNama
1Irham Litte, M.Si
Termohon
NoNama
1Kepolisian Republik Indonesia c.q. Kepala Kepolisian Daerah Maluku Utara
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

PERMOHONAN PRAPERADILAN :

  1. Bahwa dengan berpedoman pada ketentuan umum Pasal 1 butir (2) Undang-undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tindakan penyidikan adalah bagian dari serangkaian tindakan yang bersifat otonom dan mandiri yang melekat dan berada pada lingkup kewenangan institusi Kepolisian dalam hal ini adalah Penyidik. Tindakan tersebut adalah berupa “mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
  2. Bahwa berdasarkan penjelasan tentang terminologi yuridis dari “Penyidikan” sebagaimana di sebutkan di atas, maka sangatlah jelas bahwa lingkup tindakan penyidikan adalah berupa upaya mencari dan menemukan bukti-bukti yang relefan dengan peristiwa pidana yang sedang ditangani,  dan dengan bukti-bukti tersebut pula penyidik akan menetapkan seseorang menjadi tersangka atas suatu tindak pidana yang disangkakan.
  3. Bahwa oleh karena batasan tindakan penyidikan  berdasarkan ketentuan umum pasal 1 butir (2) adalah dimulai dari pengumpulan bukti dan diakhiri dengan penetapan tersangka, maka tindakan yuridis berupa pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan untuk kepentingan penuntutan adalah sekedar merupakan langka administratif yuridis yang wajib dilakukan oleh penyidik  demi keberlangsungan penanganan perkara, meskipun demikian langkah tersebut telah berada di luar ranah penyidikan. Hal demikian ditegaskan pula pada ketentuan pasal 110 yang menyebutkan “Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, Penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada Penuntut Umum”. Makna dari ketentuan tersebut adalah bahwa penyerahan berkas perkara dilakukan setelah tindakan penyidikan selesai.
  4. Bahwa meskipun pada kenyataannya terdapat mekanisme pengembalian berkas perkara oleh penuntut umum jika dianggap belum  lengkap dan berkonsekuensi akan dilakukannya penyidikan tambahan, langkah demikian bukanlah keadaan yang membatalakan atau menimbulkan status hukum penyidikan sebelumnya kembali menjadi belum selesai oleh karena penyidikan tambahan dilakukan untuk kepentingan penuntututan dan sama sama sekali tidak membatalkan status tersangka seseorang yang sebelumnya telah ditetapkan oleh penyidik pada saat penyidikan.
  5. Bahwa berdasarkan argumentasi yuridis sebagaimana disebutkan di atas, maka tindakan penghentian penyidikan hanya mungkin bisa dilakukan sebelum berkas perkara dikirimkan kepada Jaksa Penuntut Umum. Hal demikian dapat dilihat secara sistematis pada rumusan ketentuan pasal 109  dan pasal 110 dimana ketentuan penghentian penyidikan diatur terlebih dahulu melalui pasal 109 ayat (2) dan setelah itu ketentuan tentang pelimpahan berkas perkara diatur pada ketentuan pasal 110.
  6. Bahwa penghentian penyidikan berdasarkan ketentuan pasal 109  ayat (2) KUHAP didasarkan pada alasan-alasan di antaranya:
  • Tidak terdapat cukup bukti
  • Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana
  •  Penyidikan dihentikan demi hukum dengan beberapa kriteria yaitu :
  1. Tersangka meninggal dunia (pasal 77 KUHP)
  2. Perkaranya nebis in idem (pasal 76 KUHP)
  3. Perkara telah kadaluarsa /verjaring (pasal 78 KUHP)
  4. Pencabutan perkara yang sifatnya delik aduan (pasal 75 dan pasal 284 ayat (4) KUHP)
  1. Bahwa dari keseluruhan alasan penghentian penyidikan berdasarkan ketentuan pasal 109 ayat (2)  sebagaimana disebutkan tersebut di atas, termohon dalam keputusannya sama sekali tidak memenuhi kriteria yuridis dimaksud oleh karena berdasarkan penetapan penghentian penyidikan yang dikeluarkan oleh Termohon terlihat jelas alasan yang menjadi dasar penghentian lebih disebabkan oleh petunjuk jaksa yang tidak bisa dipenuhi oleh Termohon karena materi petunjuk tersebut meminta agar penyidik menggunakan ketentuan yang bersifat lex specialis yakni Undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-undang, yang pada kenyataannya proses tersebut sebelumya telah dilewati oleh Pemohon.
  2. Bahwa alasan daluarsa atau lewat waktu sebagaimana dijadikan dasar oleh Termohon adalah tidak tepat dan bersumber pada penafsiran yang keliru oleh karena ketentuan daluarsa perkara pidana secara jelas diatur dalam pasal 78 KUHP yang secara keseluruhan menggunakan rujukan ancaman pidana pada pasal yang disangkakan sebagai dasar, bukan pada rentan waktu proses atas suatu perkara.
  3. Bahwa andaipun perkara yang dihentikan oleh Termohon dipandang memenuhi syarat yuridis berkaitan dengan daluarsa, tindakan termohon tetaplah tidak tepat oleh karena penilaian atas keadaan hukum dan sifat tindak pidana yang menjadi alasan dihentikannya perkara aquo berada pada taraf prapenuntutan sehingga instrumen penghentiannya haruslah melalui Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 140 ayat (2).
  4. Bahwa oleh karena penghentian penyidikan oleh Termohon bukan disebabkan oleh cukup atau tidak cukupnya bukti, melainkan lebih kepada perbedaan pemahaman hukum antara Termohon dan Jaksa Penuntut umum mengenai hukum mana yang harus digunakan, maka pemohon akan menyampaikan pokok pikiran mengenai hal dimaksud sebagai berikut:
  • Bahwa dalam prespektif yuridis, penanganan dugaan tindak pidana Pemilu  pada dasarnya mengikuti ketentuan atau pranata hukum Pemilu, tetapi jika penanganan tersebut telah melewati tenggang waktu sebagaimana di atur dalam ketentuan  Undang-undang Pemilu maupun Pemilukada maka tidak berarti perkara tersebut telah menjadi gugur. Dugaan tindak pidana berkaitan dengan pemilu tetap bisa dilanjutkan pemeriksaannya dengan mengikuti kaidah hukum pidana umum sampai pada tingkat persidangan.
  • Bahwa khusus berkaitan dengan pelanggaran pidana berupa politik uang (money politic) ketentuan pasal 73 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 2015  pada prinsipnya tidak memberi rumusan yang konkrit melainkan hanya sekedar menempatkan ketentuan yang berisi larangan pemberian uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih pada saat pilkada. Ketentuan tersebut harus dimaknai sebagai norma yang bersifat administratif, oleh karena pada ketentuan lanjutannya yakni pada pasal 73 ayat (2) disebutkan;

 “Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan dikenai sanksi pidana sesuai dengan peraturan Perundang-undangan”.

Dari konstruksi norma tersebut di atas telah jelas memberi ketegasan mengenai sanksi administratif berupa pembatalan sebagai calon kepala Daerah bagi siapa yang melanggar ketentuan pasal 73 ayat (1). Selanjutnya terhadap sanksi pidana, klausul norma pasal 73 ayat (2) justeru menderivasi pembuktiannyamelalui ketentuan Undang-undang di luar UU No 1 Tahun 2015 dengan kata-kata “dan dikenai sanksi pidana sesuai dengan peraturan Perundang-undangan”, yang tentunya menunjuk pada ketentuan pasal 149 KUHP sebagai satu-satunya pasal di luar UU no 1 Tahun 2015 yang mengatur tentang tindak pidanapolitik uang (money politic). Penegasan ini diperkuat pula pada pada ketentuan selanjutnya yakni pada pasal 73 ayat (3)yang menyebutkan;

“Tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan”.

Rumusan ketentuan tersebut di atas juga sangat jelas menyerahkan proses penanganan, pembuktian dan penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana politik uang sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan di luar UU no 1 tahun 2015 yang sudah barang tentu adalah ketentuan pasal 149 KUHP.

  1.  Bahwa berdasarkan keseluruhan alasan-alasan hukum sebagaimana disampaikan tersebut di atas, maka sangatlah jelas tindakan termohon dalam menghentikan penyidikan atas perkara dimaksud tidak memiliki dasar dan alasan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

      Bahwa dengan keseluruhan uraian argumentasi baik terhadap objek dan dasar hukum maupun alasa-alasan Pemohon dalam mengajukan permohonan ini, kiranya Pengadilan Negeri Soasio melalui hakim tunggal praperadilan yang menangani  perkara ini berkenaan untuk memeriksa dan mengadili dengan menjatuhkan putusan sebagai berikut:

  1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya.
  2. Menyatakan penghentian penyidikan yang dilakukan oleh termohon adalah tidak sah dan batal demi hukum
  3. Membatalkan dan mencabut surat Ketetapan Termohon dengan Nomor : S.Tap/14.C/2016/Ditreskrimum tertanggal 18 Mei 2016 tentang Penghentian Penyidikan dugaan Tindak pidana politik uang di Kabupaten Halmahera Timur.
  4. Memerintahkan kepada Termohon untuk melanjutkan kembali penanganan perkara dimaksud dengan tetap menggunakan rujukan pasal 149 KUHP.
  5. Menghukum Termohon untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini.

Subsidair:

Apabila hakim praperadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. (ex eaqou et bono).                                                                               

Pihak Dipublikasikan Ya